Etika Kepemimpinan Masyarakat Bugis
Terdapat
2 era/periode yang melahirkan etika kepemimpinan suku bugis, yaitu
periode "galigo" dan periode "lontara". Periode Galigo raja/pemimpin
dianggap sebagai wakil dewa di langit, sehingga memiliki banyak
kelebihdan dan juga merupakan sumber hukum. Periode "Lontara" merupakan
babakan baru dalam memandang pemimpin.
Pada periode Lontara, Etika kepemimpinan masyarakat Bugis amat menjunjung tinggi kedudukan manusia sebagai ’tau’. Pembinaan watak manusia dalam membangun Panggadĕrĕng (tata aturan dan hukum) mendapat tempat yang amat penting. Manusia menjadi pusat penentu atas kehidupan kebudayaannya. Manusia menempati tempat tertinggi dalam menentukan nasibnya.
Pada periode Lontara, Etika kepemimpinan masyarakat Bugis amat menjunjung tinggi kedudukan manusia sebagai ’tau’. Pembinaan watak manusia dalam membangun Panggadĕrĕng (tata aturan dan hukum) mendapat tempat yang amat penting. Manusia menjadi pusat penentu atas kehidupan kebudayaannya. Manusia menempati tempat tertinggi dalam menentukan nasibnya.
Perideo Lontara
Menurut etika kepemimpinan Bugis pada periode Lontara, syarat seorang yang menjadi pemimpin (raja) bagi adalah sebagai berikut :
- Jujur terhadap Dewata Seuwae dan sesamanya manusia.
- Takut kepada Dewata Seuwae dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.
- Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.
- Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
- Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).
- Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.
- Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.
- Jujur dalam segala keputusannya. (Abidin, 1983: 163)
Pada bagian lain dalam
falsafah sulapa’ ĕppa, dikemukakan oleh seorang raja yang bernama Arung
Matoa Matinrowa Rikannana (memerintah pada akhir abad XVI atau permulaan
abad XVII) bahwa individu yang cocok menjadi pemimpin haruslah memiliki
empat sifat, karena hanya pemimpin yang memiliki sifat inilah yang akan
dapat memperbaiki negeri. Keempat sifat tersebut yaitu :
- Jujur, yaitu jika bersalah atau dipersalahkan, dia meminta maaf.
- Berpengetahuan, yaitu mampu melihat kemungkinan akibat yang akan terjadi dari suatu kebijakan dan menjadikan kejadian yang telah lampau sebagai soko guru yang baik.
- Memiliki keberanian moral, yaitu tidak terkejut apabila mendengar berita buruk atau baik, dan mampu menyatakan “ya” atau “tidak”.
- Pemurah, yaitu memberikan minuman siang dan malam. Artinya, mampu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyanya. Pemimpin demikian disebut “Mattuppu batu” (pemimpin yang mampu memakmurkan rakyatnya). Hanya apabila tidak tertidur matanya, siang dan malam memikirkan rakyatnya, barulah ia disebut pemimpin. (Abidin, 1969: 25)
Dalam etika
kepemimpinan periode "Lontara" juga dipesankan pula bahwa untuk
menjadi pemimpin yang baik harus mampu mempelajari sifat negatif dan
positif yaitu yang dilambangkan dalam unsur api, air, angin, dan tanah.
- Api adalah besar tindakannya, tidak memikirkan akibat perbuatannya, tidak mau mengalah, hanya dirinyalah sendiri yang dianggap benar, tetapi memiliki sifat berani.
- Air memiliki kegigihan tetapi tidak jujur.
- Angin, selalu berlaku kasar dan tidak memiliki ketulusan atau kejujuran.
- Tanah, memiliki kejujuran, pemurah dan berpengetahuan.
Dari keempat sifat tersebut,
singkatnya seorang pemimpin dalam era "Lontara" harus memiliki sifat
jujur, cendikia, berani, mengayomi, dan terbuka.
Kemaslahatan dan Kerusakan Negeri
Terciptanya
kemaslahatan negeri merupakan pusat perhatian dari etika kepemimpinan
periode "Lontara". Telah lama diperingatan bahwa rusaknya suatu negeri
karena adanya sifat buruk yang dimiliki seorang pemimpin, yang berupa :
tidak mau mendengar nasihat, para cendekiawan tidak berfungsi lagi
sebagai cerdik pandai, para pejabat dan hakim ’makan sogok’, pemimpin
tidak dapat mengendalikan keadaan negeri dan absennya kepedulian para
pemimpin terhadap kebutuhan rakyat.
Secara ringkas ada lima sebab hancurnya sebuah negeru sebagaimana ditegaskan dalam "I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang" sebagai berikut :
Secara ringkas ada lima sebab hancurnya sebuah negeru sebagaimana ditegaskan dalam "I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang" sebagai berikut :
- Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.
- Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.
- Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.
- Kalau terlampau banyak malapetaka besar dalam suatu negeri.
- Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.” (Abidin, 1983: 166)
Atas dasar hal di atas untuk
menghindari kerusakan negeri (organisasi) maka dalam etika kepemimpinan
masyarakat Bugis, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki
empat sifat yang tak terpisahkan, yaitu:
Maccai na malĕmpu’
(Cendekia lagi jujur)
Waraniwi na magĕttĕng
(Berani lagi Teguh dalam Pendirian)
(Cendekia lagi jujur)
Waraniwi na magĕttĕng
(Berani lagi Teguh dalam Pendirian)
Kewajiban Pemimpin
Sebuah
kisah menununjukan bagaimana kewajiban pemimpin dalam hubungannya
dengan orang yang dipimpinnya. Ketika itu "La Palewo Topalippu" diangkat
menjadi "Arung Matoa Wajo (Raja)" terjadi dialog antara dia dan rakyat
yang dipimpinnya. Dalam dialog itu, Arung Matoa menyatakan kewajibannya
dengan tegas sebagai berikut.
Engkau kuselimuti supaya tidak kedinginan
(Pemimpin menyayomi supaya rakyat terhindar dari bahaya dan berbagai kesulitan)
Engkau kujaga bagaikan mengusir burung pipit supaya tanaman padi tidak hampa
(Pemimpin menjaga jiwa rakyat dan harta benda)
Saya mengobat/memaafkan kesalahanmu
(Pemimpin mendengarkan semua keluh kesah rakyatnya)
Saya membela kebenaranmu
(Pemimpin, memperjuangkan hak rakyat)
(Pemimpin menyayomi supaya rakyat terhindar dari bahaya dan berbagai kesulitan)
Engkau kujaga bagaikan mengusir burung pipit supaya tanaman padi tidak hampa
(Pemimpin menjaga jiwa rakyat dan harta benda)
Saya mengobat/memaafkan kesalahanmu
(Pemimpin mendengarkan semua keluh kesah rakyatnya)
Saya membela kebenaranmu
(Pemimpin, memperjuangkan hak rakyat)
(Sumber : Lontara Sukku’na Wajo)
Hubungan Pemimpin dengan Rakyat
Etika
kepemimpinan Bugis sangat memperhatikan harmoni hubungan antara
pemimpin dan rakyat. Persamaan hak dan kewajiban dimaknai sebagai
nilai-nilai yang harus dijunjung bersama untuk mencapai kesejahteraan
kehidupan, sebagaimana tergambar dalam petikan di bawah ini :
Janganlah engkau hai para Arung (raja/pemimpin) beritikad jahat terhadap rakyatmu.
Akan padam api tungkumu (padam kemuliaanmu),
dan kalian penduduk janganlah beritikad buruk terhadap rajamu,
akan padam api di perapianmu (engkau akan ditimpa bencana).
Akan padam api tungkumu (padam kemuliaanmu),
dan kalian penduduk janganlah beritikad buruk terhadap rajamu,
akan padam api di perapianmu (engkau akan ditimpa bencana).
(Sumber : Lontara’ Sukkuna Wajo: 337) 11
Dalam
Lontara’ Latoa ditegaskan bahwa apabila suatu ketika ada manusia,
keluarga, kelompok sosial dalam masyarakat yang diperlakukan dengan
tidak adil oleh raja, manusia itu dapat melakukan tindakan protes
terhadap penguasa yang telah merugikannya. Kalau usaha masyarakat tidak
berhasil, biasanya ditandai dengan panen padi yang gagal. Semua orang di
negeri itu mulai dari penguasa atau raja sampai masyarakat biasa harus
mengintrospeksi dirinya, karena di antara mereka pasti ada yang telah
berbuat kesalahan.
Tersebut dalam sejarah bahwa pada waktu La Manussa Toakkarangĕng menjadi DatuSoppeng di Tanah Soppeng (Kabupaten Soppeng saat ini) terjadi kegagalan panen dan orang Soppeng hampir kelaparan karena kemarau panjang. Diselidikinya sebab bencana itu, tetapi tak ada juga pejabat kerajaan yang melakukan perbuatan sewenang-wenang. Setelah lama berpikir, diingatnya bahwa raja sendiri pernah memungut barang di sawah orang lain dan menyimpannya sendiri. Itulah sebab kemarau panjang itu, pikirnya. Lalu, raja mengadili dirinya sendiri, karena tidak ada orang yang berani melakukannya, serta menjatuhkan denda pada dirinya. Dia menyembelih kerbau kemudian dagingnya dibagikannya kepada orang banyak. Di hadapan orang banyak, dia menyatakan dirinya telah bersalah karena memungut barang orang lain (Abidin, 1983: 164).
Tersebut dalam sejarah bahwa pada waktu La Manussa Toakkarangĕng menjadi DatuSoppeng di Tanah Soppeng (Kabupaten Soppeng saat ini) terjadi kegagalan panen dan orang Soppeng hampir kelaparan karena kemarau panjang. Diselidikinya sebab bencana itu, tetapi tak ada juga pejabat kerajaan yang melakukan perbuatan sewenang-wenang. Setelah lama berpikir, diingatnya bahwa raja sendiri pernah memungut barang di sawah orang lain dan menyimpannya sendiri. Itulah sebab kemarau panjang itu, pikirnya. Lalu, raja mengadili dirinya sendiri, karena tidak ada orang yang berani melakukannya, serta menjatuhkan denda pada dirinya. Dia menyembelih kerbau kemudian dagingnya dibagikannya kepada orang banyak. Di hadapan orang banyak, dia menyatakan dirinya telah bersalah karena memungut barang orang lain (Abidin, 1983: 164).
Di Sidenreng Rappang, La Pagala Nene’ Mallomo pada abad XVI sebagai murid La Taddamparĕ yang baik, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri, yang terbukti menggunakan luku orang lain tanpa seizin pemiliknya. Ketika ditanya, apa sebab memidana mati putranya, dan apakah ia menilai sama jiwa putranya dengan hanya sebuah luku, beliau menjawab: “Adĕ’ e tĕmmakiana’ tĕmmakiĕppo” (Abidin, 1983: 124). Artinya, “Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu”.
Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
- Mannganro ri adĕ’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.
- Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, orang yang bersangkutan langsung menghadap raja.
- Mallimpo-adĕ’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa
- perlengkapan senjata, mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.
- Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipil masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panggadĕrĕng hukum dan peraturan yang berlaku oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.
- Mallĕkkĕ’ dapurĕng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena rakyat telah bosan melihat kesewenang-wenangan raja di dalam negerinya dan protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”. (Mattulada, 1985: 417-419)
Selamat Berlatih. Salam Pramuka
Sumber :
- Kak Hadikusumo (Ka Kwarda DIY 1983 - 1996) "Pemimpin Berkepemimpinan Dalam Keteladanan yang Nyata" - Buku Rujukan KPDK Kwarda DIY tahun 1988
- http://www.tni.mil.id/pages-8-11-asas-kepemimpinan.html\
- http://file.upi. edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032-RAHAYU_GININTASASI/kepemimpinan
- id. wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan
- journal. uny.ac.id/index.php/jpka/article/download/1284/1068
- http://shimchinmae. wordpress.com/2012/12/04/kepemimpinan-suku-bugis/
- http://www. rajaalihaji.com/id/article.php?a=ZURIL3c%3D=
Lihat entry/topik terkait :
- Kepemimpinan : pengertian, teori dan fungsi
- Kepemimpinan : syarat, sifat, azas & profile
- Kepemimpinan : model kepemimpinan yang efektif
- Kepemimpinan : assesment test kepemimpinan efektif
- Kepemimpinan : model tim kepemimpinan
- Kepemimpinan : model kepemimpinan prophetik dan asketis
- Kepemimpinan : nilai-nilai tradisional kepemimpinan masyarakat jawa
- Kepemimpinan : nilai-nilai tradisional kepemimpinan masyarakat sunda
- Kepemimpinan : nilai-nilai tradisional kepemimpinan masyarakat batak
- Kepemimpinan : nilai-nilai tradisional kepemimpinan masyarakat melayu
- Kepemimpinan : nilai-nilai kepemimpinan Gerakan Pramuka
- Kepemimpinan : Latihan Pengembangan Kepemimpinan Pramuka Penegak Pandega
- Kepemimpinan : Gladian Pemimpin Ambalan Penegak dan Racana Pandega
- Kursus Pengelola Dewan Kerja Penegak Pandega
- Dewan Kerja sebagai Lembaga Kader Kepemimpinan Gerakan Pramuka
Catatan :
Melalui beragam metode dan suasana latihan kepramukaan yang menyenangkan nilai-nilai kepemimpinan masyarakat melayu dapat dijadikan materi latihan untuk "pembentukan watak & sikap kepemimpinan yang positip" kepada para peserta didik.
Posting Komentar